Hari itu pekerjaan Harti boleh dibilang selesai. Bersama gerobak jamunya. perempuan asal Ngadirejo. Wonogiri. Jawa Tengah, ini bersiap pulang ke kamar kontrakan mungilnya yang jaraknya tidak jauh dari kampus tadi. Jualannya besok lagi. Sekarang waktunya pulang dan istirahat." begitu kata Haru tersenyum.
Begitu sampai di rumah kontrakan. Harti masih bekerja membantu saudaranya berjualan bakso. Warung bakso mungil yang selalu ramai dan tutup pukul 22.00 itu menempel dengan kamar kontrakannya di belakang ITC Kuningan.
Seusai membantu berjualan bakso. Harti mulai menyiapkan bahan-bahan untuk minuman jamu yang akan dijual esok han. Dia me-numbuk sendiri beras dan kencur.kunir, asem, daun sambiloto. hingga daun sirih dtukk di robek
Setiap hari. Harti mendorong gerobak jamunya itu dua kali, pagi dan sore. Dia mengelilingi kau asan permukiman sekitar kampus Perbanas. Setiabudi.
Dulu, saat masih ada pabrik tahu di Kuningan, jamu bikinannya terjual hingga daerah Pasar Meneos. masih di Setiabudi. Harti punya langganan sehingga tidak perlu susah mencari pembeli. "Biasanya yang minum jamu saya itu anak-anak kos. baik mahasiswa maupun karyawan, katanya.
Sudah 18 tahun terakhir Harti berjualan Jamu di sebagian Setiabudi. Dia masih ingat, saat berjualan pertama kali di
-bukan nama sebenarnya- Juga asli Wonogiri, memutuskan berjualan jamu setelah suaminya melarang dia bekerja sebagai sinden. Awalnya. Yati yang masih tampak ayu itu dikenal sebagai sinden ternama di kampungnya. Begitu menikah dengan lelaki yang kini berdagang bakso di Setiabudi. Yati diminta berhenti dan kemudian ia berjualan jami
gendong. Setiap hari botol-botol jamu ditambah bakul yang beratnya bisa sampai 10 kg itu menempel di punggungnya. Harti maupun Yati hanyalah dua dari puluhan penjual jamu di kawasan Setiabudi. Di sela-sela bekerja, mereka sering berkumpul, bercerita satu sama latn. Kadang pertemuan di jalan atau pasar selepas dagangan habis.
Apa pun bisa menjadi cerita, mulai dari keluarga di kampung hingga kehidupan bertetangga dan soal bahan-bahan jamu. Kadang kalau pulang ke Wonogiri, saya sering mampir ke Solo untuk membeli bahan jamu. Banyak teman yang nitip." tutur Harti.
Kalau Lebaran, karni pulang bersama dengan pedagang bakso yang juga berasal dari Wonogiri." ujar Harti yang tetap happy.
|
Semangat hidup tinggi, membuahkan hasil mengejutkan. Itulah yang dialami suami istri Tri Sudaryanto (51 tahun) dan Sumarni (41 tahun). Dulu penghasilan hanya pas –kadang kurang – untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sekarang dengan penghasilan Rp 240 ribu per hari keluarga ini malah bisa menabung.
Tahun 2002 adalah awal keluarga dengan dua anak tersebut membalik kebiasaan hidup. Sebelumnya Yanto – panggilan akrab Tri Sudaryanto – sopir truk angkutan dan istrinya ibu rumah tangga murni. Sekarang mereka berjualan jamu gendong keliling kampung.
Ditemui di rumahnya Rejowinangun, Kotagede,
”Awalnya kepepet, hasil sebagai sopir tidak cukup untuk menutup kebutuhan hidup harian. Kami harus balik haluan. Padahal jujur saja, kami tidak punya pengalaman tentang jamu,” kata Yanto sambil terus menumbuk karena waktu semakin sore.
Ilmu tentang jamu gendong diperoleh dari beberapa tetangga. Di kampung tersebut ada sekitar 10 penjual jamu gendong. Setelah yakin dengan kemampuannya, pada pertengahan Mei 2002 pasangan tersebut ”mendeklarasikan” sebagai penjual jamu.
Yanto menyisihkan uang Rp 50 ribu sebagai modal awal. Oleh istrinya uang tersebut dibelanjakan beberapa bahan pokok di Pasar Beringharjo yang jaraknya sekitar
”Untungnya istri punya modal cadangan. Dengan modal tidak seberapa itulah, kami mulai berdagang jamu gendong,” papar Yanto yang benar-benar menggunakan prinsip ”sersan” (serius tapi santai) untuk menjalani hidup.
Tiga jenis jamu yang pertama kali dijual adalah beras kencur, kunir asem, dan uyup-uyup. Jamu dijual secara berkeliling oleh Sumarni menggunakan sepeda. Pengalaman hari pertama memperoleh hasil Rp 28.000, dari pukul 07.00 hingga 09.00.
”Senang banget. Dengan hasil itu bisa menabung Rp 3 ribu tiap hari. Sebelumnya
Perjalanan hidup berangsur baik. Produksi jamu terus meningkat, selain penghasilan semakin besar, jam kerja juga bertambah. Kini setiap hari Sumarni mengedarkan 80 liter jamu terdiri dari beras kencur, kunir asem, uyup-uyup, galian singset, pegel linu, dan penambah nafsu makan.
Jam kerja juga tidak main-main. Produksi dimulai pukul 14.30-18.00 dengan menumbuk beberapa bahan dan merebus puluhan liter air. Kemudian 01.00-06.00 menumbuk lagi beberapa bahan lain yang memang harus ditumbuk mendadak. Pada proses menumbuk tadi sekaligus membuat ”biang” atau ”bibit” jamu. Dengan takaran tertentu, ”bibit” ini ditambah air matang agar siap minum.
Pukul 06.00-11.00 Sumarni berkeliling menjual jamu, Yanto mencuci botol minuman kemasan. Botol digunakan untuk pembeli yang menginginkan jamu dibawa pulang. Harga jamu per botol jamu 600 mililiter Rp 2.000, sedangkan ukuran 1,5 liter Rp 4.000. Dalam sehari menghabiskan sekitar 80 botol kecil dan 15 botol besar. Botol ini diperoleh dengan cara membeli.
Untuk minum di tempat menggunakan gelas, harganya tidak sama, tergantung kemampuan pembeli. Orang kaya – dilihat dari penampilan – diberi harga Rp 1.000, sedangkan yang tidak mampu cukup membayar Rp 500 per gelas. Keuntungan penjualan sekitar 40 persen, tidak termasuk tenaga yang dikeluarkan.
”Kami orang tidak punya, sehingga tahu betul mengeluarkan uang Rp 1.000 bukan hal mudah. Ukuran kami ya hanya dengan melihat saja, tidak perlu menunjukkan
Gempa bumi Mei 2006 sempat memporakporandakan hidup keluarga ini. Rumah di bibir tebing Sungai Gajah Wong itu tidak bisa dihuni, tidak roboh tetapi retak dan miring, serta beberapa bagian lepas. Mereka mendirikan rumah darurat di tanah milik saudaranya di dekat lokasi itu juga.
Seminggu kemudian, dari rumah darurat itu pasangan ini memaksakan diri berjualan jamu kembali, karena hanya dari situlah menggantungkan hidup. Seperti dari awal, karena hampir semua konsumen juga menjadi korban gempa bumi.
Perlahan tapi pasti, kehidupan mereka pulih. Dana rekonstruksi rumah untuk korban gempa, meski tidak utuh – harusnya Rp 15 juta, tapi hanya menerima Rp 11 juta – sangat membantu dalam membangun rumah kembali. Agar dana cukup, Yanto memanfaatkan sisa bangunan korban gempa lainnya.
Semangat berjualan semakin menyala ketika menerima bantuan Rp 700 ribu dari Dinas Perdagangan untuk pembelian alat produksi pengusaha kecil korban gempa.
Selain kerja keras, pasangan ini juga memperhatikan masa depan dua anaknya. Arif Joko Wicaksono sekarang kelas 9 (atau III) SMP 5 Yogyakarta, Rudi Kurniawan kelas 7 (atau I) SMP 9 Yogyakarta. Dua sekolah ini termasuk favorit di
”Rencana kami, anak sulung mendaftar di SMK, biar cepat dapat bekerja,” kata Yanto dan Sumarni hampir berbarengan. (*)
Waktu menunjukkan pukul 17.00, Minggu (10/1). Di sebuah gang sempit di belakang kampus Perbanas, Setiabudi, Jakarta Selatan, dagangan Harti (40-an) sudah habis.
Seluruh botol di gerobak mungilnya tidak menyisakan jamu setetes pun. Hanya jamu sachet yang masih tampak banyak.
Hari itu pekerjaan Harti boleh dibilang selesai. Bersama gerobak jamunya, perempuan asal Ngadirejo, Wonogiri, Jawa Tengah, ini bersiap pulang ke kamar kontrakan mungilnya yang jaraknya tidak jauh dari kampus tadi. "Jualannya besok lagi. Sekarang waktunya pulang dan istirahat," begitu kata Harti tersenyum.
Begitu sampai di rumah kontrakan, Harti masih bekerja membantu saudaranya berjualan bakso. Warung bakso mungil yang selalu ramai dan tutup pukul 22.00 itu menempel dengan kamar kontrakannya di belakang ITC Kuningan.
Seusai membantu berjualan bakso, Harti mulai menyiapkan bahan-bahan untuk minuman jamu yang akan dijual esok hari. Dia menumbuk sendiri beras dan kencur, kunir, asem, daun sambiloto, hingga daun sirih, diulek di cobek .
Setiap hari, Harti mendorong gerobak jamunya itu dua kali, pagi dan sore. Dia mengelilingi kawasan permukiman sekitar kampus Perbanas, Setiabudi.
Dulu, saat masih ada pabrik tahu di Kuningan, jamu bikinannya terjual hingga daerah Pasar Mencos, masih di Setiabudi. Harti punya langganan sehingga tidak perlu susah mencari pembeli. "Biasanya yang minum jamu saya itu anak-anak kos, baik mahasiswa maupun karyawan," katanya.
Sudah 18 tahun terakhir Harti berjualan jamu di sebagian Setiabudi. Dia masih ingat, saat berjualan pertama kali di
Kini, penghasilan Harti sekitar Rp 60.000/hari. Untuk modal Rp 25.000 dan sisanya ditabung buat keperluan sehari-hari. Seminggu atau dua minggu sekali, ia mengirim uang ke kampung antara lain untuk uang jajan anaknya Rp 20.000/hari dan uang sekolah Rp 100.000/bulan. Ia juga harus membayar uang kontrakan Rp 400.000/bulan.
Penjual jamu lainnya, Yati (30) —bukan nama sebenarnya— juga asli Wonogiri, memutuskan berjualan jamu setelah suaminya melarang dia bekerja sebagai sinden. Awalnya, Yati yang masih tampak ayu itu dikenal sebagai sinden ternama di kampungnya.
Begitu menikah dengan lelaki yang kini berdagang bakso di Setiabudi, Yati diminta berhenti dan kemudian ia berjualan jamu gendong. Setiap hari botol-botol jamu ditambah bakul yang beratnya bisa sampai 10 kg itu menempel di punggungnya.
Harti maupun Yati hanyalah dua dari puluhan penjual jamu di kawasan Setiabudi. Di sela-sela bekerja, mereka sering berkumpul, bercerita satu sama lain. Kadang pertemuan di jalan atau pasar selepas dagangan habis.
Apa pun bisa menjadi cerita, mulai dari keluarga di kampung hingga kehidupan bertetangga dan soal bahan-bahan jamu. "Kadang kalau pulang ke Wonogiri, saya sering mampir ke Solo untuk membeli bahan jamu. Banyak teman yang nitip," tutur Harti.
"Kalau Lebaran, kami pulang bersama dengan pedagang bakso yang juga berasal dari Wonogiri," ujar Harti yang tetap happy. (Irwan Kintoko) http://202.146.5.42/detil/berita/19756/Cerita-Pedagang-Jamu-GendongRabu, 13 Januari 2010 | 11:30 WIB warta
Dari pada saya pulang setiap bulan, mendingan uangnya saja yang dikirim ke kampung.”
- Wanti, Penjaja Jamu, Merak Banten -
wanti penjaja jamu
Hampir satu jam aku di Ferry yang akan menyebrangkanku dari Merak ke Bakauheni. Urat-urat badanku terasa ngilu. Mungkin karena sejak awal aku asyik menikmati lautan selat Sunda ini dari Dek. Sementara angin senja begitu besar. Tiba-tiba aku teringat, sepertinya beberapa menit lalu ada seorang tukang jamu yang melintasiku. Kemanakah gerangan dia?
Aku mencarinya ke arah parkiran truk. Biasanya tukang jamu paling berharap dengan rezeki supir truk. Mereka malah menjadi seperti langganan tetap. Benar saja. Aku menemukannya sedang memberikan segelas jamu kepada salah seorang supir truk. Akupun memesan jamu anti masuk angin, dicampur telur bebek, cairan brotowali yang amat pahit dan sedikit pemanis.
“Ndak sekalian pake urat madu, mas?” tanyanya dengan
“Urat madu? apa itu?” aku benar-benar tak mengerti. Dalam kepalaku ketika mendengarnya adalah urat dari cairan madu. Tapi benakku sendiri menolak, masak sih madu ada uratnya…
“Ini lho, kapsul urat madu. Bisa bikin kuat dan tahan lama.”
“Bisa buat charger hape, dong!” candaku.
“Bukan buat hape, tapi buat begini, lho!” ia mengepalkan tangannya. Ibu jarinya dijepit antara jari telunjuk dan jari tengah. Lalu ia menjelaskan tentang khasiat kapsul tersebut sekali lagi, mulai dari A sampai Z. mulai dari urusan ereksi sampai durasi. “Murah, mas. Cuma 25 ribu perbungkus. Isinya 2 kapsul.” Begitu akhir penjelasannya.
“Memang kapsul seperti itu banyak peminatnya?” tanyaku kepada mbak Wanti yang menyimpan kembali sebungkus kapsul urat madu karena mengerti kalau aku tak berminat.
“Banyak juga. Biasanya supir yang suka pesan.”
“Untuk mereka pakai dimana? Di kapal ini?”
“
“Suka digodain nggak, mbak?”
“Ya sering”
“Dilayani nggak?”
“Kadang dilayani, ya kadang ndak. Lha namanya juga orang jualan.” Ia menceritakan pula pengalaman teman-teman seprofesinya yang kadang tak bisa menolak ketika dipaksa kencan oleh lelaki yang birahinya sudah diujung kepala. Tapi baginya, kalau hanya sekedar bercengkrama saja, tak masalah.
“Sudah berkeluarga, mbak?” kupotong ceritanya karena kurang tertarik untuk membahasnya.
“Suami saya di Jawa jadi petani. Anak saya baru 1, baru masuk SMP.” Lalu mbak Wanti berkisah tentang kehidupannya dengan suami dan anaknya ketika ia masih di Solo.
“Tiap bulan pulang, mbak?”
“Si mas ini… bikin saya jadi kepingin pulang kampung saja.” Merenung. Entah merenungi nasib keluarganya atau nasibnya di atas kapal penyebrangan ini.
“Pulangnya seberapa sering, mbak?” tanyaku lagi.
“Tidak setiap bulan, mas.”
“Lho, katanya kangen. Koq tidak setiap bulan?” tanyaku.
“Mas ini nggak ngerti nasib orang kecil.” Sanggahnya.
“Maksudnya bagaimana, mbak? Saya benar-benar nggak ngerti koq.” Ungkapku.
“Penghasilan tukang jamu, ndak besar, mas. Dari pada saya pulang setiap bulan, mendingan uangnya saja yang dikirim ke kampung.” Begitu penjelasannya.
“Oh, begitu… saya mengerti, mbak.” Sahutku. Dan iapun tersenyum.
“Uangnya dikirim pake
“Hihihi… si mas ini, saya ndak punya bank, mas!” maksudnya pasti tidak punya account di bank.
“Berarti pakai
“Ndak!
“Yakin uang itu bakal sampai ke rumah di kampung?” justru aku yang tak yakin.
“Yakin, mas. Lha wong dari dulu, kita ini sering begitu. Orang-orang sekampung itu saling percaya, mas. Ndak seperti orang
“Cara nge-ceknya gimana, kalau uang itu yakin sampai?” selidikku.
“Ndak usah di cek, mas! Pokoknya kalau sesama orang sekampung, pasti percaya!” ia tetap bertahan pada keyakinannya.
“Hebat! Bisa saling percaya seperti itu.” Pujiku.
“Yach, yang namanya orang kampung, sederhana saja, mas. Kalau yang namanya titipan, pasti sampai. Karena kalau tidak sampai, ndak bakalan dipercaya lagi. Malu dengan orang sekampung.”
Kehidupan yang keras buat mbak Wanti yang lemah lembut. Ia mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menghidupi anaknya. Tidak jarang ia dikira mau-mau saja melayani lelaki hidung belang. Bagi mbak Wanti, resiko pekerjaannya memang seperti itu, dikira perempuan gampangan. Memang ada beberapa teman seprofesinya yang tak bisa menolak bujuk paksa lelaki iseng. Tapi tidak baginya. Ia selalu kuat untuk menghindari segala hal yang bisa merusak nilai perjuangan hidupnya.
Setiap pekerjaan memang memiliki resiko. Begitupun dengan pekerjaan kita, dimana saja kita bekerja, selalu saja ada godaan untuk melakukan hal-hal yang asusila. Kita bisa belajar dari keteguhan hati seorang penjual jamu, untuk tetap berjuang bagi mereka yang dicintainya di rumah.
amis, 11 Juni 2009 , 08:53:00
Hasil Jual Jamu Mampu Biayai Kuliah Buah Hati
http://www.pontianakpost.com/?mib=berita.detail&id=19992
AMU GENDONG: Penjual jamu gendong berkeliling menemui pelanggannya. MUJADI/PONTIANAKPOST
Ia melakoni pekerjannya sejak 38 tahun silam. Hanya kesenangan yang membuat bertahan menjual jamu dengan cara gendong. Dari hasil berjualan jamu itu, Suyati bisa membiayai pendidikan dua buah hatinya. Bagaimana ia bertahan dengan pekerjaanya yang dimulai pada 1971 itu?
FAHROZI
*
SETIAP harinya, berkeliling guna menjual jamu gendongnya. Keramahannya membuat pembeli merasa nyaman setiap mengkonsumsi jamunya. Selain memberikan kesehatan bagi masyarakat sebagai kosumennya, juga guna membantu suami untuk membiayai sekolah anak-anaknya serta memenuhi kebutuhan sehari-hari.Suyati, salah satu di antara banyaknya penjual jamu gendong yang ada di
“Setiap harinya, dengan berjalan kaki membelanjakan jamu gendongnya kepada seluruh masyarakat yang menginginkan, namun kadang juga saya sudah mempunyai langganan, biasanya saya memang datang pada hari yang sudah menjadi kewajibannya untuk minum jamu olahan saya,” tambah warga yang tinggal di Jalan Podomoro Gang Sukadana tersebut.
Dikatakannya, setelah dari pagi hingga siang berjualan jamu gendong. Kemudian di rumahnya membuat jamu yang akan dijual keesokan harinya. Hal tersebut terus dilakukannya. Menjadi rutinitas selama 38 tahun, sebagai penjual jamu gendong. Biasanya berjualan jamu keliling diantaranya Jalan A Yani, sampai dengan Jalan Gajah Mada.
“Jamu yang saya jual juga bikinan sendiri, setiap harinya setelah berjualan jamu, sore atau malam harinya saya meracik jamu-jamu tersebut, mengumpulkan satu persatu rempah-rempah yang akan diolah untuk menjadi jamu tradisional,” ulasnya.Keuntungan yang didapat, lanjutnya, dari berdagang jamu gendong tersebut, setiap harinya bisa mengumpulkan uang kurang lebih Rp100 ribu. kemudian uang tersebut selain dipakai untuk makan sehari-hari juga digunakan untuk membiayai anak-anak sekolah.
“Anak saya tiga orang, satunya sudah selesai kuliah di
Vigrx oil original obat pembesar penis pria - alami - herbal - original
BalasHapusObat Kuat Viagra laser 100mg ALAMI - HERBAL - Tanpa Efeksamping
Vimax original - ASLI | Obat Pembesar Penis Alami Canada
Cream obat pemutih wajah Alami - Permanen - aman
obat perangsang wanita Alami SEX DROPS alami - manjur - cair
obat perangsang wanita serbuk fly - Murah - Manjur - Alami
Obat pelangsing badan fruit and plant alami - herbal - aman - manjur
Semenax Capsule Original Obat Penyubur sperma ALAMI
Obat Penggemuk Badan Alami
Obat Perapat Vagina Super Cepat Alami
Cerita Dewasa
BalasHapusKisah Sex Nyata | Cerita Mesum Terhangat | Cerita Dewasa
Cerita Dewasa, Cerita Sex, Cerita Mesum, Cerita Bokep, Cerita Ngentot, Cerita Panas, Kisah Seks, Cerita Lucah, Skandal Mesum, Terbaru, Terupdate
Pengalaman Ngentot Dengan Tukang Jamu
Cerita Perawan Warsih Si Tukang Jamu
ML sama Tukang jamu Sexy
Cerita Panas Gadis Jamu Gendong
gairah dewasa Tukang Jamu
Terangsang Pantat Tukang Jamu Gendong
Nikmatnya Tubuh Mbak jamu
Bercinta Dengan Janda Tukang Pijat
Cerita Sek Sama Tukang Jamu Sampai Hamil
Cerita Pedagang Jamu Gendong
Pengalaman Ngentot Stw Tukang Pijat
jembut tipis bu mumun sang tukang pijet
Cd ngentot tukang jamu
Mirna Sang Penjual Jamu Gendong
Ngentot Sama Tukang Jamu Yg Pengalaman
Ngentot Memek Tukang Jamu