Selasa, 25 Mei 2010

Cerita Pedagang Jamu Gendong

mau menunjuk kan pukul 17.00. Minggu (10/1). Di sebuah gang sempit di belakang kampus Perbanas. Setiabudi. Jakarta Selatan, dagangan Harti (40-an) sudah habis. Seluruh botol di gerobak mu-ngilnya tidak menyisakan jamu setetes pun. Hanya jamu sachet yang masih tampak banyak.

Hari itu pekerjaan Harti boleh dibilang selesai. Bersama gerobak jamunya. perempuan asal Ngadirejo. Wonogiri. Jawa Tengah, ini bersiap pulang ke kamar kontrakan mungilnya yang jaraknya tidak jauh dari kampus tadi. Jualannya besok lagi. Sekarang waktunya pulang dan istirahat." begitu kata Haru tersenyum.

Begitu sampai di rumah kontrakan. Harti masih bekerja membantu saudaranya berjualan bakso. Warung bakso mungil yang selalu ramai dan tutup pukul 22.00 itu menempel dengan kamar kontrakannya di belakang ITC Kuningan.

Seusai membantu berjualan bakso. Harti mulai menyiapkan bahan-bahan untuk minuman jamu yang akan dijual esok han. Dia me-numbuk sendiri beras dan kencur.kunir, asem, daun sambiloto. hingga daun sirih dtukk di robek
Setiap hari. Harti mendorong gerobak jamunya itu dua kali, pagi dan sore. Dia mengelilingi kau asan permukiman sekitar kampus Perbanas. Setiabudi.

Dulu, saat masih ada pabrik tahu di Kuningan, jamu bikinannya terjual hingga daerah Pasar Meneos. masih di Setiabudi. Harti punya langganan sehingga tidak perlu susah mencari pembeli. "Biasanya yang minum jamu saya itu anak-anak kos. baik mahasiswa maupun karyawan, katanya.

Sudah 18 tahun terakhir Harti berjualan Jamu di sebagian Setiabudi. Dia masih ingat, saat berjualan pertama kali di Jakarta, tahun 1992. harga Jamunya masih Rp 25 sampai Rp 50. Kini, penghasilan Harti sekitar Rp 60.000/hari. Untuk modal Rp 25.000 dan sisanya ditabung buat keperluan sehari-hari. Seminggu atau dua minggu sekali, ia mengirim uang ke kampung antara lain untuk uang jajan anaknya Rp 20.000/hari dan uang sekolah Rp 100.000/bulan. Ia juga harus membayar uang kontrakan Rp400000/bulan Penjual jamu lainnya. Yati (30)

-bukan nama sebenarnya- Juga asli Wonogiri, memutuskan berjualan jamu setelah suaminya melarang dia bekerja sebagai sinden. Awalnya. Yati yang masih tampak ayu itu dikenal sebagai sinden ternama di kampungnya. Begitu menikah dengan lelaki yang kini berdagang bakso di Setiabudi. Yati diminta berhenti dan kemudian ia berjualan jami

gendong. Setiap hari botol-botol jamu ditambah bakul yang beratnya bisa sampai 10 kg itu menempel di punggungnya. Harti maupun Yati hanyalah dua dari puluhan penjual jamu di kawasan Setiabudi. Di sela-sela bekerja, mereka sering berkumpul, bercerita satu sama latn. Kadang pertemuan di jalan atau pasar selepas dagangan habis.

Apa pun bisa menjadi cerita, mulai dari keluarga di kampung hingga kehidupan bertetangga dan soal bahan-bahan jamu. Kadang kalau pulang ke Wonogiri, saya sering mampir ke Solo untuk membeli bahan jamu. Banyak teman yang nitip." tutur Harti.

Para pedagang jamu itu tinggal berkelompok. Ada yang serumah dengan suami, tetapi banyak pula yang tinggal bersama teman karena keluarga di kampung. Penemuan antarpedagang jamu tak harus dilaksanakan di rumah, tapi bisa di jalan selepas berjualan. Di situ mereka cerita segala macam. Mulai dari keluarga, hingga kampung halaman.
Kalau Lebaran, karni pulang bersama dengan pedagang bakso yang juga berasal dari Wonogiri." ujar Harti yang tetap happy.

berjuang mengolah hidup, mengayuh sepeda

dec 8, '06 1:12 am
for everyone

Kemarin sore-sore saya tidak sengaja ketemu tukang jamu di jalan. Karena sudah lama tidak minum jamu
saya berhenti sebentar beli jamu pahit biar badan seger. Mbak jamu yang ini saya lihat agak unik, lain dari
yang biasanya, karena kalau biasanya di gendong, kali ini si mbak ini bawa sepeda.

Iseng-iseng saya ajak ngobrol aja sebentar sambil nunggu jamu pahitnya. Ternyata dia jualan 2X sehari
pagi dan sore, mbak ini yang sudah punya anak 1 orang ini ternyata merantau ke jakarta dan terpaksa
mencari nafkah untuk membantu menopang kehidupan keluarganya di kampung ( di Jawa Tengah ) karena
suaminya penghasilannya juga pas-pasan. Nah anak dan suaminya ada di kampung, sementara di jakarta
ini dia tinggal sama saudaranya.

Yang saya salut mbak ini pakai jilbab meskipun pekerjaannya menggeos sepeda kemana-mana.
Untuk meredam panas dia pakai topi caping ala pak tani. Ketika saya tanya kira-kira berapa untungnya
jualan jamu seperti ini, dia bilang lumayan juga mas, katanya bisa 25 ribu sampai 40 ribu sehari.

Ketika saya ambil fotonya, dia balik bertanya,"Mas ini wartawan ya? kok tanya-tanya sama moto2?"
Saya senyum-senyum saja, saya bilang bukan mbak, saya seneng moto aja, apa aja saya foto, kata
saya mencari alasan. Dan mbak itu segera pamit mau cari pembeli lagi, padahal saya masih mau tanya-
tanya lagi. Saya penasaran sebenarnya kok bukan suaminya aja yang merantau kenapa malah istrinya?
Padahal kan beliau juga masih punya anak kecil ya gak? Tapi ah sudahlah, mungkin keluarga mbak ini
punya alasannya sendiri. Biarlah rasa penasaran saya tenggelam di langkah-langkahnya yang berat
mendorong sepeda setiap hari, dihantam debu-debu jalanan ibukota, saya cuma bisa berdoa dalam hati
semoga mbak kita ini jamunya laris manis. Supaya bisa sering bertemu buah hatinya, karena saya aja
yang laki-laki gak tahan kalau jauh-jauh dari keluarga dalam waktu lama. Bawaannya kangen terus.

Mudah-mudahan aja hasil dagangannya cukup untuk menyekolahkan anaknya itu, karena zaman sekarang
biaya sekolah juga melangit. Senja terus bergerak, mbak jamu pamit mendorong sepedanya, menawarkan
jamunya, "Jamu...jamuuuu, jamunya pak?" Hidup memang rahasia Alloh, kita cuma di minta terus berusaha
dan berdoa. Bersyukur atas segala nikmatNYA, saya yakin kepada Alloh boleh jadi sesungguhnya mbak jamu
itu lebih pandai bersyukur daripada saya, lebih deras doa-doanya, lebih mustajab malah, karena dia berjuang
lebih berat daripada saya yang meskipun lelaki tapi tidak perlu mengayuh sepeda dan berteriak-teriak di jalan
serta jauh dari anak-anak karenanya. Ah saya yakin Alloh memiliki banyak hikmah dan rahasia kebaikan
bagi setiap hamba-hambaNYA yang berjuang.

Wallohu 'alam bissawab

Semangat hidup tinggi, membuahkan hasil mengejutkan. Itulah yang dialami suami istri Tri Sudaryanto (51 tahun) dan Sumarni (41 tahun). Dulu penghasilan hanya pas –kadang kurang – untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sekarang dengan penghasilan Rp 240 ribu per hari keluarga ini malah bisa menabung.

Tahun 2002 adalah awal keluarga dengan dua anak tersebut membalik kebiasaan hidup. Sebelumnya Yanto – panggilan akrab Tri Sudaryanto – sopir truk angkutan dan istrinya ibu rumah tangga murni. Sekarang mereka berjualan jamu gendong keliling kampung.

Ditemui di rumahnya Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta, Kamis 24 Juli 2008 sore, Yanto sedang menumbuk rempah-rempah, Sumarni merebus air dengan bahan bakar kayu. Baik rempah-rempah maupun air merupakan bahan membuat jamu. Gubug produksinya terletak di sebuah tebing pinggir Sungai Gajah Wong.

”Awalnya kepepet, hasil sebagai sopir tidak cukup untuk menutup kebutuhan hidup harian. Kami harus balik haluan. Padahal jujur saja, kami tidak punya pengalaman tentang jamu,” kata Yanto sambil terus menumbuk karena waktu semakin sore.

Ilmu tentang jamu gendong diperoleh dari beberapa tetangga. Di kampung tersebut ada sekitar 10 penjual jamu gendong. Setelah yakin dengan kemampuannya, pada pertengahan Mei 2002 pasangan tersebut ”mendeklarasikan” sebagai penjual jamu.

Yanto menyisihkan uang Rp 50 ribu sebagai modal awal. Oleh istrinya uang tersebut dibelanjakan beberapa bahan pokok di Pasar Beringharjo yang jaraknya sekitar lima kilometer dari rumah. Malang memang tak bisa ditolak, uang justru hilang di pasar.

”Untungnya istri punya modal cadangan. Dengan modal tidak seberapa itulah, kami mulai berdagang jamu gendong,” papar Yanto yang benar-benar menggunakan prinsip ”sersan” (serius tapi santai) untuk menjalani hidup.

Tiga jenis jamu yang pertama kali dijual adalah beras kencur, kunir asem, dan uyup-uyup. Jamu dijual secara berkeliling oleh Sumarni menggunakan sepeda. Pengalaman hari pertama memperoleh hasil Rp 28.000, dari pukul 07.00 hingga 09.00.

”Senang banget. Dengan hasil itu bisa menabung Rp 3 ribu tiap hari. Sebelumnya kan tidak pernah bisa menabung,” kisah Sumarni dengan wajah berbinar.

Perjalanan hidup berangsur baik. Produksi jamu terus meningkat, selain penghasilan semakin besar, jam kerja juga bertambah. Kini setiap hari Sumarni mengedarkan 80 liter jamu terdiri dari beras kencur, kunir asem, uyup-uyup, galian singset, pegel linu, dan penambah nafsu makan.

Jam kerja juga tidak main-main. Produksi dimulai pukul 14.30-18.00 dengan menumbuk beberapa bahan dan merebus puluhan liter air. Kemudian 01.00-06.00 menumbuk lagi beberapa bahan lain yang memang harus ditumbuk mendadak. Pada proses menumbuk tadi sekaligus membuat ”biang” atau ”bibit” jamu. Dengan takaran tertentu, ”bibit” ini ditambah air matang agar siap minum.

Pukul 06.00-11.00 Sumarni berkeliling menjual jamu, Yanto mencuci botol minuman kemasan. Botol digunakan untuk pembeli yang menginginkan jamu dibawa pulang. Harga jamu per botol jamu 600 mililiter Rp 2.000, sedangkan ukuran 1,5 liter Rp 4.000. Dalam sehari menghabiskan sekitar 80 botol kecil dan 15 botol besar. Botol ini diperoleh dengan cara membeli.

Untuk minum di tempat menggunakan gelas, harganya tidak sama, tergantung kemampuan pembeli. Orang kaya – dilihat dari penampilan – diberi harga Rp 1.000, sedangkan yang tidak mampu cukup membayar Rp 500 per gelas. Keuntungan penjualan sekitar 40 persen, tidak termasuk tenaga yang dikeluarkan.

”Kami orang tidak punya, sehingga tahu betul mengeluarkan uang Rp 1.000 bukan hal mudah. Ukuran kami ya hanya dengan melihat saja, tidak perlu menunjukkan surat keterangan miskin,” kata Yanto sambil tertawa.

Gempa bumi Mei 2006 sempat memporakporandakan hidup keluarga ini. Rumah di bibir tebing Sungai Gajah Wong itu tidak bisa dihuni, tidak roboh tetapi retak dan miring, serta beberapa bagian lepas. Mereka mendirikan rumah darurat di tanah milik saudaranya di dekat lokasi itu juga.

Seminggu kemudian, dari rumah darurat itu pasangan ini memaksakan diri berjualan jamu kembali, karena hanya dari situlah menggantungkan hidup. Seperti dari awal, karena hampir semua konsumen juga menjadi korban gempa bumi.

Perlahan tapi pasti, kehidupan mereka pulih. Dana rekonstruksi rumah untuk korban gempa, meski tidak utuh – harusnya Rp 15 juta, tapi hanya menerima Rp 11 juta – sangat membantu dalam membangun rumah kembali. Agar dana cukup, Yanto memanfaatkan sisa bangunan korban gempa lainnya.

Semangat berjualan semakin menyala ketika menerima bantuan Rp 700 ribu dari Dinas Perdagangan untuk pembelian alat produksi pengusaha kecil korban gempa.

Selain kerja keras, pasangan ini juga memperhatikan masa depan dua anaknya. Arif Joko Wicaksono sekarang kelas 9 (atau III) SMP 5 Yogyakarta, Rudi Kurniawan kelas 7 (atau I) SMP 9 Yogyakarta. Dua sekolah ini termasuk favorit di Yogyakarta.

”Rencana kami, anak sulung mendaftar di SMK, biar cepat dapat bekerja,” kata Yanto dan Sumarni hampir berbarengan. (*)

Waktu menunjukkan pukul 17.00, Minggu (10/1). Di sebuah gang sempit di belakang kampus Perbanas, Setiabudi, Jakarta Selatan, dagangan Harti (40-an) sudah habis.

Seluruh botol di gerobak mungilnya tidak menyisakan jamu setetes pun. Hanya jamu sachet yang masih tampak banyak.

Hari itu pekerjaan Harti boleh dibilang selesai. Bersama gerobak jamunya, perempuan asal Ngadirejo, Wonogiri, Jawa Tengah, ini bersiap pulang ke kamar kontrakan mungilnya yang jaraknya tidak jauh dari kampus tadi. "Jualannya besok lagi. Sekarang waktunya pulang dan istirahat," begitu kata Harti tersenyum.

Begitu sampai di rumah kontrakan, Harti masih bekerja membantu saudaranya berjualan bakso. Warung bakso mungil yang selalu ramai dan tutup pukul 22.00 itu menempel dengan kamar kontrakannya di belakang ITC Kuningan.

Seusai membantu berjualan bakso, Harti mulai menyiapkan bahan-bahan untuk minuman jamu yang akan dijual esok hari. Dia menumbuk sendiri beras dan kencur, kunir, asem, daun sambiloto, hingga daun sirih, diulek di cobek .

Setiap hari, Harti mendorong gerobak jamunya itu dua kali, pagi dan sore. Dia mengelilingi kawasan permukiman sekitar kampus Perbanas, Setiabudi.

Dulu, saat masih ada pabrik tahu di Kuningan, jamu bikinannya terjual hingga daerah Pasar Mencos, masih di Setiabudi. Harti punya langganan sehingga tidak perlu susah mencari pembeli. "Biasanya yang minum jamu saya itu anak-anak kos, baik mahasiswa maupun karyawan," katanya.

Sudah 18 tahun terakhir Harti berjualan jamu di sebagian Setiabudi. Dia masih ingat, saat berjualan pertama kali di Jakarta, tahun 1992, harga jamunya masih Rp 25 sampai Rp 50.

Kini, penghasilan Harti sekitar Rp 60.000/hari. Untuk modal Rp 25.000 dan sisanya ditabung buat keperluan sehari-hari. Seminggu atau dua minggu sekali, ia mengirim uang ke kampung antara lain untuk uang jajan anaknya Rp 20.000/hari dan uang sekolah Rp 100.000/bulan. Ia juga harus membayar uang kontrakan Rp 400.000/bulan.

Penjual jamu lainnya, Yati (30) —bukan nama sebenarnya— juga asli Wonogiri, memutuskan berjualan jamu setelah suaminya melarang dia bekerja sebagai sinden. Awalnya, Yati yang masih tampak ayu itu dikenal sebagai sinden ternama di kampungnya.

Begitu menikah dengan lelaki yang kini berdagang bakso di Setiabudi, Yati diminta berhenti dan kemudian ia berjualan jamu gendong. Setiap hari botol-botol jamu ditambah bakul yang beratnya bisa sampai 10 kg itu menempel di punggungnya.

Harti maupun Yati hanyalah dua dari puluhan penjual jamu di kawasan Setiabudi. Di sela-sela bekerja, mereka sering berkumpul, bercerita satu sama lain. Kadang pertemuan di jalan atau pasar selepas dagangan habis.

Apa pun bisa menjadi cerita, mulai dari keluarga di kampung hingga kehidupan bertetangga dan soal bahan-bahan jamu. "Kadang kalau pulang ke Wonogiri, saya sering mampir ke Solo untuk membeli bahan jamu. Banyak teman yang nitip," tutur Harti.

Para pedagang jamu itu tinggal berkelompok. Ada yang serumah dengan suami, tetapi banyak pula yang tinggal bersama teman karena keluarga di kampung. Pertemuan antarpedagang jamu tak harus dilaksanakan di rumah, tapi bisa di jalan selepas berjualan. Di situ mereka cerita segala macam. Mulai dari keluarga, hingga kampung halaman.

"Kalau Lebaran, kami pulang bersama dengan pedagang bakso yang juga berasal dari Wonogiri," ujar Harti yang tetap happy. (Irwan Kintoko) http://202.146.5.42/detil/berita/19756/Cerita-Pedagang-Jamu-GendongRabu, 13 Januari 2010 | 11:30 WIB warta kota

Dari pada saya pulang setiap bulan, mendingan uangnya saja yang dikirim ke kampung.”

- Wanti, Penjaja Jamu, Merak Banten -

wanti penjaja jamu

wanti penjaja jamu

Hampir satu jam aku di Ferry yang akan menyebrangkanku dari Merak ke Bakauheni. Urat-urat badanku terasa ngilu. Mungkin karena sejak awal aku asyik menikmati lautan selat Sunda ini dari Dek. Sementara angin senja begitu besar. Tiba-tiba aku teringat, sepertinya beberapa menit lalu ada seorang tukang jamu yang melintasiku. Kemanakah gerangan dia?

Aku mencarinya ke arah parkiran truk. Biasanya tukang jamu paling berharap dengan rezeki supir truk. Mereka malah menjadi seperti langganan tetap. Benar saja. Aku menemukannya sedang memberikan segelas jamu kepada salah seorang supir truk. Akupun memesan jamu anti masuk angin, dicampur telur bebek, cairan brotowali yang amat pahit dan sedikit pemanis.

“Ndak sekalian pake urat madu, mas?” tanyanya dengan gaya bicara Jawa yang lemah lembut.

“Urat madu? apa itu?” aku benar-benar tak mengerti. Dalam kepalaku ketika mendengarnya adalah urat dari cairan madu. Tapi benakku sendiri menolak, masak sih madu ada uratnya…

“Ini lho, kapsul urat madu. Bisa bikin kuat dan tahan lama.”

“Bisa buat charger hape, dong!” candaku.

“Bukan buat hape, tapi buat begini, lho!” ia mengepalkan tangannya. Ibu jarinya dijepit antara jari telunjuk dan jari tengah. Lalu ia menjelaskan tentang khasiat kapsul tersebut sekali lagi, mulai dari A sampai Z. mulai dari urusan ereksi sampai durasi. “Murah, mas. Cuma 25 ribu perbungkus. Isinya 2 kapsul.” Begitu akhir penjelasannya.

“Memang kapsul seperti itu banyak peminatnya?” tanyaku kepada mbak Wanti yang menyimpan kembali sebungkus kapsul urat madu karena mengerti kalau aku tak berminat.

“Banyak juga. Biasanya supir yang suka pesan.”

“Untuk mereka pakai dimana? Di kapal ini?”

Ada yang di sini, ada juga yang di luar. Namanya juga supir, suka mampir.” Mbak Wanti mesem-mesem. Walaupun aku tak percaya sepenuhnya. Karena temanku juga supir, dan ia adalah suami yang setia kepada istrinya.

“Suka digodain nggak, mbak?”

“Ya sering”

“Dilayani nggak?”

“Kadang dilayani, ya kadang ndak. Lha namanya juga orang jualan.” Ia menceritakan pula pengalaman teman-teman seprofesinya yang kadang tak bisa menolak ketika dipaksa kencan oleh lelaki yang birahinya sudah diujung kepala. Tapi baginya, kalau hanya sekedar bercengkrama saja, tak masalah.

“Sudah berkeluarga, mbak?” kupotong ceritanya karena kurang tertarik untuk membahasnya.

“Suami saya di Jawa jadi petani. Anak saya baru 1, baru masuk SMP.” Lalu mbak Wanti berkisah tentang kehidupannya dengan suami dan anaknya ketika ia masih di Solo.

“Tiap bulan pulang, mbak?”

“Si mas ini… bikin saya jadi kepingin pulang kampung saja.” Merenung. Entah merenungi nasib keluarganya atau nasibnya di atas kapal penyebrangan ini.

“Pulangnya seberapa sering, mbak?” tanyaku lagi.

“Tidak setiap bulan, mas.”

“Lho, katanya kangen. Koq tidak setiap bulan?” tanyaku.

“Mas ini nggak ngerti nasib orang kecil.” Sanggahnya.

“Maksudnya bagaimana, mbak? Saya benar-benar nggak ngerti koq.” Ungkapku.

“Penghasilan tukang jamu, ndak besar, mas. Dari pada saya pulang setiap bulan, mendingan uangnya saja yang dikirim ke kampung.” Begitu penjelasannya.

“Oh, begitu… saya mengerti, mbak.” Sahutku. Dan iapun tersenyum.

“Uangnya dikirim pake wesel atau ditrasfer lewat bank?” tanyaku lagi.

“Hihihi… si mas ini, saya ndak punya bank, mas!” maksudnya pasti tidak punya account di bank.

“Berarti pakai wesel ya, mbak?”

“Ndak! Kan setiap bulan ada teman-teman sekampung yang suka bawa truk juga. Atau ada juga teman-teman jamu yang mau pulang. pokoknya siapa saja. Nah, uang itu saya titipkan.”

“Yakin uang itu bakal sampai ke rumah di kampung?” justru aku yang tak yakin.

“Yakin, mas. Lha wong dari dulu, kita ini sering begitu. Orang-orang sekampung itu saling percaya, mas. Ndak seperti orang kota.” Jawabnya penuh keyakinan.

“Cara nge-ceknya gimana, kalau uang itu yakin sampai?” selidikku.

“Ndak usah di cek, mas! Pokoknya kalau sesama orang sekampung, pasti percaya!” ia tetap bertahan pada keyakinannya.

“Hebat! Bisa saling percaya seperti itu.” Pujiku.

“Yach, yang namanya orang kampung, sederhana saja, mas. Kalau yang namanya titipan, pasti sampai. Karena kalau tidak sampai, ndak bakalan dipercaya lagi. Malu dengan orang sekampung.”

Kehidupan yang keras buat mbak Wanti yang lemah lembut. Ia mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menghidupi anaknya. Tidak jarang ia dikira mau-mau saja melayani lelaki hidung belang. Bagi mbak Wanti, resiko pekerjaannya memang seperti itu, dikira perempuan gampangan. Memang ada beberapa teman seprofesinya yang tak bisa menolak bujuk paksa lelaki iseng. Tapi tidak baginya. Ia selalu kuat untuk menghindari segala hal yang bisa merusak nilai perjuangan hidupnya.

Setiap pekerjaan memang memiliki resiko. Begitupun dengan pekerjaan kita, dimana saja kita bekerja, selalu saja ada godaan untuk melakukan hal-hal yang asusila. Kita bisa belajar dari keteguhan hati seorang penjual jamu, untuk tetap berjuang bagi mereka yang dicintainya di rumah.

amis, 11 Juni 2009 , 08:53:00

Hasil Jual Jamu Mampu Biayai Kuliah Buah Hati

http://www.pontianakpost.com/?mib=berita.detail&id=19992

AMU GENDONG: Penjual jamu gendong berkeliling menemui pelanggannya. MUJADI/PONTIANAKPOST

Ia melakoni pekerjannya sejak 38 tahun silam. Hanya kesenangan yang membuat bertahan menjual jamu dengan cara gendong. Dari hasil berjualan jamu itu, Suyati bisa membiayai pendidikan dua buah hatinya. Bagaimana ia bertahan dengan pekerjaanya yang dimulai pada 1971 itu?

FAHROZI
* Pontianak

SETIAP harinya, berkeliling guna menjual jamu gendongnya. Keramahannya membuat pembeli merasa nyaman setiap mengkonsumsi jamunya. Selain memberikan kesehatan bagi masyarakat sebagai kosumennya, juga guna membantu suami untuk membiayai sekolah anak-anaknya serta memenuhi kebutuhan sehari-hari.Suyati, salah satu di antara banyaknya penjual jamu gendong yang ada di Pontianak. Setiap hari berjualan jamu gendong dilakukannya mulai dari pukul 07.30, dan pulang ke rumah lagi sekitar pukul 12.30.

“Setiap harinya, dengan berjalan kaki membelanjakan jamu gendongnya kepada seluruh masyarakat yang menginginkan, namun kadang juga saya sudah mempunyai langganan, biasanya saya memang datang pada hari yang sudah menjadi kewajibannya untuk minum jamu olahan saya,” tambah warga yang tinggal di Jalan Podomoro Gang Sukadana tersebut.
Dikatakannya, setelah dari pagi hingga siang berjualan jamu gendong. Kemudian di rumahnya membuat jamu yang akan dijual keesokan harinya. Hal tersebut terus dilakukannya. Menjadi rutinitas selama 38 tahun, sebagai penjual jamu gendong. Biasanya berjualan jamu keliling diantaranya Jalan A Yani, sampai dengan Jalan Gajah Mada.
“Jamu yang saya jual juga bikinan sendiri, setiap harinya setelah berjualan jamu, sore atau malam harinya saya meracik jamu-jamu tersebut, mengumpulkan satu persatu rempah-rempah yang akan diolah untuk menjadi jamu tradisional,” ulasnya.Keuntungan yang didapat, lanjutnya, dari berdagang jamu gendong tersebut, setiap harinya bisa mengumpulkan uang kurang lebih Rp100 ribu. kemudian uang tersebut selain dipakai untuk makan sehari-hari juga digunakan untuk membiayai anak-anak sekolah.

“Anak saya tiga orang, satunya sudah selesai kuliah di Jogjakarta, yang sekarang ini sudah bekerja di sebuah apotek di Pontianak, kemudian sekarang masih satu anak lagi yang masih kuliah di Jogjakarta juga,” ujarnya.Biaya kuliah selama ini, lanjutnya, juga didapatkan dari jerih payahnya sebagai penjual jamu gendong. Pendapatan tersebut ditambahkan dengan penghasilan sang suami yang sebagai penjual bakso keliling.“Jadi uang yang didapatkan, baik saya maupun suami saya kita gunakan untuk membiayai kuliah anak-anak saya, kemudian dalam menjalani usaha ini saya selalu merasa senang, karena kalau kita lakukan pekerjaan dengan hati senang Insya Allah semua pekerjaan akan juga terselesaikan dengan senang, Alhamdulillah sampai hari ini tidak pernah merasa sedih lantaran kerja menjadi seorang penjual jamu,” paparnya. (*)

2 komentar: